KENAPA KITA HARUS PUNYA VISI

0
422

Akal yang Allah karuniakan kepada kita membuat kita bisa berfikir tentang masa depan dan mempersiapkannya. Bahkan melakukan rekayasa agar lebih baik. Kemampuan ini tak dimiliki oleh makhluk tak berakal. Maka jika kita tak berfikir bagaimana menyiapkan masa depan berarti kita tak berfikir. Itulah mengapa kita harus mempunyai visi. Yakni berfikir tentang bagaimana keadaan yang jauh lebih baik, lebih membahagiakan, lebih menyenangkan di masa depan. Kegagalan kita memebuat visi untuk mempersiapkan masa depan kita berarti membiarkan kita akan celaka di hari depan. Kegagalan membuat visi dan mewujudkannya sama halnya membiarkan diri kita menghadapi masa depan -yang bukan hanya suram, tapi – gelap gulita. Semakin tinggi visi kita, maka kita harus semakin serius mengupayakannya.

Membangun visi itu seperti membangun sebuah bangunan. Tinggi dan kokohnya bangunan bergantung pada fondasinya. Semakin tinggi bangunan itu harus semakin kuat fondasinya. Baik dari strukturnya maupun dari kekokohannya mencengkeram bumi. Jika yang kita dirikan hanya sebuah tenda, kita tak memerlu fondasi yang kuat, bahkan bisa tanpa fondasi sama sekali. Namun tentu tenda akan mudah roboh bahkan hanya karena tiupan angin. Untuk membangun bangunan yang kokoh dan kuat fondasinya harus lebih dalam dan lebih kuat, agar mampu menghadang berbagai terpaan angin, badai, bahkan guncangan gempa.

Burj Khalifa memiliki pondasi beton dan baja berisi 192 tiang yang terkubur lebih dari 50 m (164 kaki). Lebih dari 45.000 m³ (58.900 cu yd) beton, dengan berat lebih dari 110.000 ton digunakan untuk membangun fondasi beton dan baja. Jeddah Tower yang sedang dibangun di Arab Saudi konon dibangun dengan fondasi sedalam 70 meter.

Begitulah, visi yang tinggi harus dibangun di atas fondasi keimanan yang kokoh. Tak tergoyahkan oleh apapun. Sehingga visi tidak berhenti menjadi sekadar ungkapan kosong, tapi tak memiliki daya dorong yang dahsyat untuk mewujudkannya.

Lalu mengapa kita harus punya visi?

Orang yang membangun menara tinggi seperti Burj Khalifa atau Jeddah Tower tentu karena ingin mendapatkan apa yang tak mereka dapatkan ketika hanya membangun rumah biasa, gedung beberapa lantai, apalagi sekadar tenda. Tak mungkin tak ada harapan yang ingin diraihnya. Mereka yang membangun Jeddah Tower yang tingginya 1000 meter, tentu memiliki mimpi yang melebihi apa yang sudah bisa diperoleh dengan dibangunnya Burj Khalifa.

Kita tentu ingin meraih suatu keadaan yang jauh lebih baik dari keadaan kita hari ini, kalau perlu yang paling baik seribu kali atau sejuta kali lebih baik dari kondisi kita hari ini. Itu karena kita merasa keadaan kita saat ini tidak baik-baik saja. Kita merasa keadaan kita sekarang penuh dengan kesulitan bahkan penderitaan. Kita tak ingin hari esok kita hancur karena berbagai terpaan angin badai dan berbagai guncangan. Karenanya kita harus membangun visi yang tinggi, yang kokoh dan mampu menghadapi berbagai terpaan dahsyat tadi.
Sebagai orang beriman kita meyakini akan adanya hari yang penuh dengan berbagai kesulitan, penuh dengan guncangan, dan dahsyatnya badai, yaitu hari pembalasan. Kalau kita hari ini tak mempersiapkan untuk menghadapi alamat hari esok kita hancur. Kita terancam celaka. Inilah gunanya kita membangun visi.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. ” (al Hasyr : 18)

Keyakinan atau gambaran tentang akhirat sebagai masa depan paling mencemaskan yang harus benar-benar dipersiapkan inilah yang harusnya menjadi fondasi yang kokoh bagi dibangunnya visi kita, orang-orang beriman. Sebaliknya lemahnya bahkan nihilnya keyakinan akan hal itu menjadikan seseorang nihil pula dari menyiapkan visi yang besar. Dia hanya akan berfikir untuk membuat “tenda” saja yang gampang. Yang tak perlu menggali fondasi yang dalam dan dana butuh kerja keras dan pengorbanan lebih. Dia lalai akan adanya badai dan guncangan maha dahsyat yang akan dengan mudah melibas “tendanya” tadi

Untuk itu kita harus membangun fondasi keimanan yang sangat kokoh, yang menghujam kuat di dalam hati kita. Yang kemudian fondasi itu terikat kuat dengan tiang-tiangnya berupa pemikiran, perasaan, perbuatan yang kita lakukan. Sehingga kemudian tiang-tiang itu mengantarkan kita kepada puncak bangunan berupa apa yang ingin kita raih dari visi kita. Bukan tiang-tiang yang hanya menempel di atas fondasi yang rapuh kemudian, tiang-tiang itu roboh ketika datang hempasan angin atau badai.

Lalu bagaimana membangun fondasi keimanan yang kokoh, yang menghunjam dan mencengkeram di dalam hati? Bagaimana mewujudkan keimanan sekokoh keimanan para Nabi dan pada sahabat yang membuat mereka berani bertaruh apa saja demi keimanan itu?
Insya Allah akan kita ungkap dalam tema selanjutnya.

Langgeng Basuki