Aqidah Sumber Kebangkitan

0
307

Sebuah bangunan yang kokoh, tinggi menjulang, dan megah meniscayakan fondasi yang kokoh pula. Fondasinya harus kuat mencengkram bumi sedemikian hingga tak tergoyahkan oleh terpaan badai maupun guncangan.
Demikian pula sebuah visi yang tinggi, besar, dan diharapkan mampu mewujud menjadi sebuah kenyataan yang melahirkan limpahan kebajikan di masa depan, harus dibangun di atas sebuah keyakinan yang kokoh dan tak tergoyahkan. Keyakinan yang menghujam kuat di dalam dada seseorang atau sebuah ummat, yang akan tampak dalam perilaku seseorang atau ummat tersebut. Dengan demikian perilaku seseorang atau suatu ummat sesungguhnya cerminan dari visi yang diembannya, sekaligus gambaran seberapa dalam dan kuat keyakinan yang melandasinya. Jika seseorang atau ummat Selalu sibuk dengan hal-hal remeh temeh, yang tak ada hubungannya dengan sesuatu yang besar yang ingin diwujudkan di masa depan, maka berarti menunjukkan lemahnya visi dan sekaligus keyakinan yang tertanam di dalam dadanya.

Ummat Islam memiliki visi besar menjadi ummat berbaik, yang unggul, menjadi rujukan dan panutan, dan memimpin ummat manusia menuju kehidupan yang diridhai Allah SWT (QS. Ali Imran: 110). Visi yang telah menggerakkan generasi awal Islam sedemikian hingga menjadikan Islam memimpin dunia selama belasan abad dan melahirkan limpahan kebajikan bagi ummat manusia. Pengaruhnya yang kuat bagi peradaban dunia masih terlihat jejaknya hingga kini, kendatipun ummat Islam hari ini mengalami kemunduran dan tak lagi memimpin dunia. Itu semua terwujud karena generasi awal dan generasi berikutnya dari ummat ini memiliki keyakinan yang kokoh berupa aqidah Islam yang terhunjam kuat di dalam dada.

Pertanyaannya kemudian, mengapa hari ini ummat Islam mengalami kemunduran? Mengapa keimanan ummat hari ini mudah luntur, mudah goyah, dan tak mampu menggerakkannya untuk mencapai kemuliaan sebagai mana telah diraih sebelumya.

Hari ini kita jumpai kebanyakan keimanan atau aqidah ummat hanya keimanan yang diwariskan secara turun temurun. Keimanan yang ada hanya merupakan hasil “salin – tempel”, sehingga mudah sekali lepas. Berbagai terpaan seperti iming-iming kesenangan sesaat dunia dengan mudah melunturkan keimanan. Hari ini kita saksikan betapa mudahnya ummat murtad. Apalagi ditambah dengan derasnya liberalisasi yang juga memasuki ranah keimanan. Ummat telah dijangkiti apa yang oleh Nabi disebut wahn. Hubbud dunya wa karahiyatul maut (cinta dunia dan takut mati).

Kenapa kita menjadi begini? Kenapa kita tak memiliki keimanan yang kokoh seperti para sahabat dulu? Bukankan kita mengimani perkara yang sama dengan mereka?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita simak firman Allah SWT berikut:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf : 179)

Dijadikan isi neraka dalam ayat ini adalah gambaran dari bentuk kehinaan yang teramat sangat. Menunjukkan betapa tak berharganya mereka yang dicampakkan ke sana. Mengapa hal ini akan diperlakukan terhadap kebanyakan jin dan manusia? Jawabnya karena jin dan manusia tersebut tidak menggunakan akalnya untuk berfikir, tidak menjadikan penglihatannya untuk melihat apa yang seharusnya difikirkan, dan pendengarannya untuk mendengarkan apa yang seharusnya direnungkan.

Ini sebuah pelajaran bahwa semestinya akal dan panca indera yang dikaruniakan kepada kita, digunakan untuk melakukan perenungan untuk menemukan jawaban tentang hakikat kehidupan yang kita jalani sebelum lebih jauh melangkah dalam kehidupan. Kuta harus mengawali kehidupan kita dengan menemukan tentang siapa sebenarnya kita? Untuk apa kita hidup di dunia ini? Dan setelah ini mau kemana?

Jika hal tersebut tidak dilakukan, sehingga seseorang berbuat tanpa terlebih berfikir tentang keberadaan dirinya di dalam kehidupan, bisa dipastikan dia hanya akan mengikuti hawa nafsunya. Dia hanya akan melakukan apa yang menurutnya enak dan mudah dilakukan hari ini. Dia tidak akan berfikir tentang hari esok atau masa depan.

Ketidakpedulian akan hari esok adalah cara hidup makhluk tak berakal. Bisa kita amati, binatang sebagai makhluk tak berakal hanya mengikuti apa yang menurut nafsunya enak dan mudah. Ketika ingin makan ya makan saja tak peduli apa dan punya siapa yang dimakan. Asal menurut perasaannya enak ya dimakan, kapanpun dan dimana pun. Begitupun saat kawin, buang hajat, dan lainnya. Semua berdasarkan apa yang menurut perasaannya enak dan mudah saat itu. Mereka tak peduli dengan apa yang akan terjadi nanti apalagi hari esok. Atas dasar Itulah perilaku orang yang tak mengawali kehidupan dengan perenungan tentang dirinya, apa yang harusnya dilakukan, dan apa yang akan terjadi atas dirinya di hari kemudian disamakan oleh Allah dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat.

Dalam ayat tadi bahkan kesesatannya dianggap melebihi binatang ternak. Pasalnya manusia memiliki akal namun akalnya berada dalam kendali nafsunya, sehingga kerusakan yang ditimbulkannya lebih parah dan berefek jangka panjang. Bisa kuta buktikan bahwa berbagai kerusakan di muka bumi yang berefek jangka panjang adalah akibat ulah tangan manusia. Silakan ditelusuri, akan kita dapati semua kerusakan di bumi ini seperti pencemaran lingkungan, penggundulan hutan yang menimbulkan banjir, hingga koyaknya lapisan ozon, semua hasil perbuatan manusia yang mengikuti hawa nafsunya.

Ayat di atas ditutup dengan pernyataan, mereka itulah orang-orang yang lalai /lengah. Lalai artinya sebenarnya tahu tapi tak peduli. Tahu tetapi tak memberi perhatian. Lalai akan apa? Lalai akan dirinya, apa yang semestinya dilakukan, dan akibatnya di hari kemudian. Mereka tak punya visi. Hidup mereka terkungkung dalam pandangan tentang hari ini saja. Hidup mereka seperti katak dalam tempurung, tak bisa menatap masa depan dan akhirnya mati dalam kesia-siaan.

Untuk itulah kita harus mengawali hidup dengan berfikir. Kita harus menemukan jawaban yang pasti benar terkait keberadaan kita dalam kehidupan, tentang apa yang harus kita lakukan dan akibatnya setelah kehidupan ini. Jawaban ini yang mengikat semua pemikiran, sikap (perasaan) dan perbuatan kita. Jawaban ini yang akan mendorong kita untuk bangkit menuju kemuliaan. Jawaban ini yang akan menggerakkan seluruh aktivitas kita dalam kehidupan ini.

Sebelum itu semua terjawab maka kita akan terus terbelenggu oleh pertanyaan itu. Disadari atau tidak, di balik kesibukan kita mencari dunia kemudian kita sangka itu akan membuat kita bahagia, namun tak kunjung mendapatkannya, itu karena sebenarnya kita masih terbelenggu oleh pertanyaan besar dengan eksistensi kita dalam kehidupan, apa yang harus kita lakukan dan akibatnya, atau yang biasa dirangkum dalam pertanyaan “dari mana, untuk apa, dan akan kemana?”. Permasalah ini yang disebut dengan ‘Uqdatul Kubra’ (simpul besar) dan jawaban tuntas akan hal itu yang disebut ‘Aqidah. Jadi aqidah itu sebenarnya adalah jawaban menyeluruh dan mendalam tentang eksistensi kita apa yang mesti kita lakukan serta akibatnya di kemudian hari.

Bagaimana memecahkan pertanyaan tersebut sedemikian hingga menjadi keyakinan yang kuat dan kemudian menggerakkan pemikiran, sikap dan perbuatan kita? Insya Allah akan kita bahas di dalam tulisan selanjutnya.

Allahu ‘alam bish shawab.

Langgeng Basuki